Ays’ariyah
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupum Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan keberadaan
Tuhan serta menumbuhkan keyakinan kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas nampak adanya keterlibatan manusia atau setidaknya aspek kemanusiaan dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi) Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi) diantara dua aliran; yaitu Salafiyah dan Mu’tazilah.Namun, kajian teologis
Asy’ariyah dengan didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika formal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secara
distorsif teori-teori
filsafat natural (tabhi’at)- malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis yang empiris-metodologis. Bahayanya lagi, argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalami eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’ (pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim(antropomorfisme).
Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa alam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari
muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang dalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan ahwa yang qadim itu adalah Tuhan. Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat mumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan tasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwa wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyah menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir) yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena semua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yang hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits. Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas, Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulan metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusaha menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk membuktikan sesuatu yang natural. Metodologi ini jelas bertentangan dengan metodi empirisme ilmiah. Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi
argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits, sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam tidak akan pernah ada. Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas an Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikan dangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan
Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal manusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu yang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan” menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan. Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang lain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi alam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalam ujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun berlanjut pada manusia, dimana menusia adalah unsure dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi alam, maka manusia pun kehilangan esensinya dan manjadi wujud hampa tanpa arti. Secara
psikologis, argumen tentang huduts-nya alam cukup membahayakan esistensi manusia tatkala kita menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa alam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits, hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan pembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secara logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil, semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul, manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah itu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain di luar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argumen
argumen distorsif tersebut berangkat dari landasan keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif ilmiah .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan, yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatu pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar fard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yang disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut
pada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa imajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untuk mengunggulkan eksistensi sang muhdits? Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar sebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fard
tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak faktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami
bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuanterhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di kembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan
Islam,yaitu yahudi dan Kresten, sebegitu rupa. Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang
dalam bidang teologi telah mengalami “pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah ini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam buku Nur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahli Filsafat Modern dari Berkeley, California, Ilmu pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar
dalam Astronomi Modern sangat menujang argumen-argumen Ilmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.
Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topic keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standar nilai kebaikan dan keburukan- menempati deretan yang paling penting. Topik ini, disamping merupakan pembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam, juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya merupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yang ekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembangan selanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah (Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang keadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah (keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan (al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaan keduanya sebagai dualisme nilai yang diperpegangi manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu yang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang pada hakikatnya baik dan buruk- dan selanjutnya mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka hal itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa keburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai keburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimana mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan buruk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannya dari sisi lain? Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian itu hanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahl al ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya standar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif, mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan
sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’ diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa
kejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.
Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik. Atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlaku jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan tercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah beralasan bahwa akal manusia sangat relatif dalam menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpa keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dan keburukan akan sangat relatif. Secara global Asy’ariyah mengakui relativitas akal manusia pada perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di samping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasar utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai ajaran agama.