Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Februari 2012

Ibnu arabi

Ibnu arabi
Ibnu ‘Arabi dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali.
Ibn ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Julai 1165 M, di Kota Murcia, ibu kota Andalusia Timur (kini Sepanyol), Ibnu ‘Arabi bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Arabi Muhyiddin, dan al-Hatami. Ia juga mendapat gelaran sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar
Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu ‘Arabi. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia.Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan keperibadian Ibnu ‘Arabi. Keperibadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sasetra. Kerana itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.Meski Ibnu ‘Arabi belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis mazhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiri, Ibnu ‘Arabi sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid. Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu ‘Arabi akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki displin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.

Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa’its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa’i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya. Pada hak Allah (hak pertama), dapat ditekuni secara sempurna pada seluruh karya Ibnu ‘Arabi. Di sini, tauhid dijadikan sebagai kemuncak, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu ‘Arabi senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq. Sementara rahsia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu ‘Arabi menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma’rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan ‘Arabi hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan. Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya. Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan usaha penyucian dalam taman Zat-Nya. Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Arabi, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Kerananya, tidak sedikit yang mengganggap ‘Arabi telah kufur, misalnya Ibnu Taymiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga ‘kafir’.Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Arabi setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu ‘Arabi. “Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu ‘Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya,” komentar Ibnu Taimiyah.

Faham Aliran Maturidiyah

Maturidiyah
Al- Maturidiyah merupakan salah satu aliran sunni yang dinisbatkan kepada penggagasnya bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, yang dikenal dikalangan masyarakat dengan nama Abu Mansur Al Maturidy. Belum ada catatan yang dapat menunjukkan dengan pasti kapan tokoh ini lahir, tapi para ulama banyak yang berpendapat bahwa beliau lahir pada pertengana abad ke tiga di daerah samarkand dan wafat pada tahun 333 H.. Abu mansur merupakan salah seorang ulama yang mempelajari Usulul Fiqh hanafi. Pada masa itu terjadi pergolakan pemikiran khususnya seputar fiqh wa usuuhu khususnya antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Di saat badai perdebatan terjadi di antara para fuqaha dan muhadditsin, serta ulama-ulama muktazilah baik dalam bidang ilmu kalam ataupun fiqh dan usulnya pada kondisi itulah Abu Mansur Al Maturidy hidup. Beliau dikenal sebagai ulama yang beraliran madzhab Hanafi. Sebagaina disebutkan oleh kalangan ulama hanafiah, bahwa Abu Mansur memiliki arus pemikiran teologi yang sama persis dengan Abu Hanifah.
Abu Mansur Al Maturidy hidup sejaman dengan Abu Hasan Al- Asy Arie, keduanya sama-sama berupaya menegaggak panji Ah Lussunnah Wal jamaah ditengah kabutn pertikaian ideologi antar sekte dan aliran Islam. Meskipun pada saat itu derah abu Mansur tidak sepanas Basrah dalam pergolakan pemikiran antar sekte, akan tetapi di Samarkand juga ada berberapa ulama yang berkiblat pada Muktazilah di Irak, merekalah yang menuai hantaman pemikiran dari al Maturidy.
Memang dalam realitanya adala perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa antara Al Asyarie dan Al Maturidy nyaris meiliki kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata (al Khilaf Al Lafdziyu). Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran asy- Ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Quran secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Quran dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syari sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodologi yang diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan asyariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengkaialm bahwa Asyariyah berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asyariyah. Maka dengan demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, kemudian Muktazilah Maturidiyah dan Al Muhadtsun Al Asyairah.
Sekte Maturidiyah berpegang pada akal berdasarkan petunjuk dari syariat, berbeda dengan Ahlul Fiqh dan Hadist yang berpegang teguh pada naql tidak yang lain, khawatir terjadi kesalahan pada pandangan akal sehingga dapat menyesatkan. Pendapat Ahlul Hadist ini hantam dengan hujjah dalam kitab tauhid bahwa ini merupkan gaungguan syaithan. Urgensi analisa tidak bisa diganggu gugat, bagaimana mungkin mengingkari akal yang berfungsi untuk menganalisa, sedangkan Allah menyeru hambanya untuk selalu berfikir, bertafakkur dalam melihat dan menganalisa seluruh apa yng terjadi di alam ini, maka ini adalah bukti konkret bahwa berfikir dan bertafakkur adalah sumber ilmu. Merkipun demikian maturidiah mengambil hukum berdasarkan akal yang tidak bertentangan dengan syariat,, jikalau terjadi pertentangan antar keduanya maka yang diambil adalah hukum syariat. Jelas meskipun akal dijadikan landasan berpikir dalam menentukan hukum akan tetapi semua itu harus bermuara dari nash.
Al Maturidiyah berpendapat bahwa segla sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik (good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga, mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam menentukan bad value atau good value itu. Pendapat ini seirama dengan Muktazilah, hanya saja muktazilah condong lebih tegas, mereka menyatakan bahwa good value yang diketahui oleh akan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan begitupun dengan bad value yang diakui akal harus ditinggalkan..
Dalam aliran Maturidiyah sebenarnya dikenal dua corak aliran, yakni aliran Samarkand dan Bukhara. Letak perbedaannya pada tingkat pengakuan akal sebagai instrumen penafsiran kebenaran. Aliran Samarkand dikenal lebih dekat dengan Muktazilah dalam beberapa pemikirannya, seperti penerimaannya atas takwil terhadap ayat-ayat yang memuat sifat-sifat antroposentris dari Tuhan. Sementara aliran Bukhara dalam hal ini lebih dekat dengan metodologi berfikirnya Asyariyah.
Sejarah lahirnya aliran Al-Maturidiyaha 
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asyâariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Muktazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.
Pendiri dari aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal pada tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-pahamnya mempunyai banyak persamaan dengan paham-paham yang diajarkan oleh Abu Hanifah. Aliran teologi ini dikenal dengan nama Al-Maturidiyah, yang sesuai dengan nama pendirinya yaitu Al-Maturidi.

Faham Aliran Mu’tazilah

Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassarah fi’ladyân wa’lmadzâhib wa’lahzâb al-mu’âshirah” 11bahwa pada awalnya sekte mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan mu’min dan kafir (manzilatun baina’lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagaman akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya, “al-farqu baina’lfirâq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khâbithiyah dan al-himâriyyah.
Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah13:
Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali. pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya. Pemikiran tentang ke-baru-an (hâdits) kalâmu’lLah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalâmu’lLah adalah makhluk-Nya.
Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatannya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagian kaum muslimin.
Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah mu’min dan kafir (manzilatun baina’lmanzilataini). Inilah alasan mereka disebut mu’tazilah.Pemikiran bahwa segala sesuatu perbutan manusia yang tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah seuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran mu’tazilah yang cukup mewakili identitas mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. seluruh pemikiran mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sakte yang paling menguasai ilmu kalam. Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdull’ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi  lima dasar (ushûl) pemikiran yang menjadi trade mark mereka. Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhîd, al-‘adl (kedilan Allah), al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina’lmanzilataini, al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini dijelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhîd
Mereka meyakini bahwa Allah disucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamitslihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang batil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Quran adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2) Al’adl (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nyadengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali kepada yang diinginkan-Nya dan tidak melarang kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
(3) Al-wa’d wa’lwa’îd (janji dan ancaman Allah)
Maksud mereka dengan janji dan ancaman Allah adalah bahwa Allah akan memberi pahala atas kebaikan yang diperbuat manusia dan memberi balasan atas kejelekan yang dilakukannya, dan (secara mutlak) tidak akan mengampuni pendosa besar jika tidak bertobat.
(4). Al-manzilatu baina’lmanzilataini
Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mu’min tidak juga kafir.
(5) Al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar
Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’rûf wa al-nahyu ‘ani’lmunkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah Islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran Mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teologi rasionalitas. Teologi rasionaltas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran
Ketiga, Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Faham Aliran Ays’ariyah

Ays’ariyah 
Para ulama ilmu Kalam, baik Asy’ariyah maupum Mu’tazilah, dan para filosof, dalam pembahasan penting ini menyepakati urgensi akal dalam menetapkan keberadaan Tuhan serta menumbuhkan keyakinan kepada-Nya. Berbeda dengan ahl al Dzahir, para Mutakalimin menyerahkan segala kemampuan logika mereka dalam menetapkan kebenaran tuhan sebagaimana yang diinginkan dzahir teks agama. Dari sini, jelas nampak adanya keterlibatan manusia atau setidaknya aspek kemanusiaan dalam berbagai kajian ketuhanan (Teologi) Asy’ariyah, dengan gaya ortodoksnya, mencoba menempatkan dirinya sebagai penengah (moderasi) diantara dua aliran; yaitu Salafiyah dan Mu’tazilah.Namun, kajian teologis Asy’ariyah dengan didukung oleh silogisme Aristotelian atau logika formal-deduktif ditambah dengan mengadopsi secara
distorsif teori-teori filsafat natural (tabhi’at)- malah pada akhirnya tidak menampilkan kajian teologis yang empiris-metodologis. Bahayanya lagi, argumen-argumen Asy’ariyah dapat saja mengalami eskalasi sehingga mencapai tingkat ‘ilhad’ (pengingkaran akan wujud Tuhan) dan tajsim(antropomorfisme).
Teori al huduts menetapkan premis-premis logis bahwa alam itu hadis (baru;tidak qadim) karena alam itu selalu berubah. Semua yang hadis pasti berasal dari
muhdis (pembaru;pelaku al hudus) dan muhdis tersebut harus qadim, sebab kalau tidak , maka akan terjadi daur atau tasalsul (kausalitas tanpa akhir). Sedang dalam doktrin teologinya, daur dan tasalsul itu mustahil. Selanjutnya, Asy’ariyah langsung menetapkan ahwa yang qadim itu adalah Tuhan. Sedangkan teori al imkan mengatakan, alam itu bersifat mumkin, yaitu mungkin terjadi mungkin tidak. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan ‘illat murajjih yang menyebabkan adanya sesuatu itu dan ‘illat tersebut harus berakhir pada zat yang wajib al wujub (wajib ada). Sebab kalau tidak, akan terjadi tasalsul, dan tasalsul itu mustahil. Maka langsung ditetapkan bahwa wajib al wujub itu adalah Tuhan.
Lain lagi dengan teori Jauhar al fard Asy’ariyah menetapkan bahwa segala sesuatu itu terdiri dari bagian-bagian atau ajzaa’, dan bagian-bagian ini akan sampai kepada bagian yang terkecil (substansi akhir) yang tidak dapat terbagi bagi lagi, karena selanjutnya dinamakan Jauhar al fard (substansi tunggal). Karena semua jauhar tidak terlepas dari ‘aradl (sifat yang hadits), maka konklusinya semua jauhar adalah hadits. Anehnya, beranjak dari premis-premis fisikal di atas, Asyariyah mengadakan lompatan kepada kesimpulan metafisikal. Dalam artian, Asy’ariyah berusaha menemukan dalil dari hal-hal yang natural untuk membuktikan sesuatu yang natural. Metodologi ini jelas bertentangan dengan metodi empirisme ilmiah. Meskipun logika idealektik yang berusaha dibangun oleh Asy’ariyah masih mengadung nilai- nilai empirik, tapi
argumen-argumennya tetap saja membingungkan. Bagaimana mungkin Asy’ariyah membuktikan bahwa alam itu hadits, sementara gerakan dan siklus yang merupakan sifat tetap alam telah berlangsung tanpa permulaan. Pada hakikatnya alam adalah qadim, dalam pengertian bahwa Tuhan menciptakan alam tanpa permulaan dan tanpa bahan dasar, dan jarak antara keberadaan Tuhan dan keberadaan alam tidak mungkin diukur dengan waktu. Dengan kata lain, tidak ada rentang waktu antara Tuhan dengan alam walau sedetik pun. Dan posisi Tuhan tidak lain adalah ‘illat atau sebab keberadaan alam. Tanpa Tuhan alam tidak akan pernah ada.  Asy’ariyah dalam logikanya mengambil kaidah “kunci” yaitu kemustahilan daur dan tasalsul. Apa alas an Asy’ariyah menetapkan kaidah seperti itu? Pada hakikatnya, daur dan tasalsul itu hal yang wajar dan merupakan tabiat alam. Tuhan telah menciptakan siklus dan hubungan kausalitas (sebab akibat) sehingga manusia sanggup mengolah dan memproses daur ulang alam ini dengan ilmu pengetahuannya. Teori kemustahilan ini hanya berakibat terhambatnya ilmu pengetahuan dan menjadikan manusia pasif dalam hidupnya.
Hubungan hadits-muhdits oleh Asy’ariyah diidentikan dangan hubungan mashnu’ dan shani’nya (pembuat dan yang dibuat). Katanya alam ini adalah buatan
Tuhan,sebagaimana kursi adalah buatan tukang.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut membawa akal manusia sehingga mengibaratkan Tuhan sebagai person (al Syakhsy) dan pada gilirannya menimbulkan penafsiran materil terhadap hal-hal ghaib. Seiring dengan itu pula, penafsiran fenomena alam dengan kaidah hadits-muhdits sama halnya merampas esensi alam tersendiri. Dengan memahami hadits sebagai “sesuatu yang pada awalnya tidak ada kemudian diadakan” menjadikan ketidakadaan sebagai standar keberadaan. Ini menyebabkan alam kehilangan esensinya dan memaksakan ketergantungannya kepada “sesuatu yang lain” di luar dirinya. Akhirnya, realita dan subtansi alam ini akan hilang dan yang tinggal bertahan dalam ujud nyata adalah alam metafisik yang pada hakikatnya tidak nyata. Secara sosio-psikologis, pengaruhnya pun berlanjut pada manusia, dimana  menusia adalah unsure dan bagian utama di alam ini. Dengan hilangnya esensi alam, maka manusia pun kehilangan esensinya dan manjadi wujud hampa tanpa arti.  Secara psikologis, argumen tentang huduts-nya alam cukup membahayakan esistensi manusia tatkala kita menerima hipotesa imajinatif tersebut, yaitu bahwa alam itu diadakan dari tidak ada oleh sang muhdits, hal itu mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya lemah dan tidak mampu melakukan perubahan dan pembaruan dalam kehidupannya di alam ini. Sebab secara logis, segala bentuk perubahan, besar maupun kecil, semuanya disandarkan pada kekuatan dan kemampuan sang muhdits, yaitu zat selain manusia. Memang betul, manusia tidak menciptakan dirinya juga tidak mampu menciptakan alam walau seekor nyamuk pun. Tapi, apakah itu dimaksudkan agar manusia melemahkan dirinya dan menggantungkan dirinya pada sesuatu kakuatan lain di luar dirinya dan di luar alam ini. Sebenarnya, argumen
argumen distorsif tersebut berangkat dari landasan keimanan subyektif semata tidak dari tinjauan obyektif ilmiah .
Sesuatu argumen lagi yang tidak kalah membingungkan, yaitu deskripsi Asy’ariyah tentang pembagian sesuatu pada bagian-bagian tertentu dan berakhir pada jauhar fard. Perlu dipertanyakan “bagaimana Asy’ariyah menetapkan dan membuktikan adanya sesuatu yang disebutnya jauhar fard? Apakah jauhar fard tersebut
pada kenyataannya memang ada, atau hanya hipotesa imajinatif (al wahm) semata yang ditujukan untuk mengunggulkan eksistensi sang muhdits?  Pada hakikatnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa alam itu tidak dapat dibagi-bagi kepada jauhar sebagaimana anggapan Asy’ariyah. Alam itu tidak dapat dibagi dan diurai dalam bentuk unsur-unsur dan penguraian ini dapat berlangsung terus menerus tanpa
berhenti. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah. Jelasnya argumen Asy’ariyah tentang adanya jauhar fard
tidak lebih dari hipotesa imajinatif akal yang tidak faktual.Perlu diketahui, bahwa makna wujud itu sendiri ada tiga; pertama, wujud sesuatu itu dapat dipahami
bila sesuatu itu dapat diketahui. Jadi, standar wujud sesuatu adalah adanya kemungkian pengetahuanterhadapnya.
Teologi yang dipelopori oleh asy’ari dan di kembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan
Islam,yaitu yahudi dan Kresten, sebegitu rupa. Sehingga banyak agama Yahudi seperti yang ada pada sekarang ini adalah adalah bahwa agama yahudi yang
dalam bidang teologi telah mengalami “pengislaman”,.
Di zaman Modern yang pengetahuan semakin melimpah ruah ini, ternyata teologi Asy’ari masih relefan dalam buku Nur Khalis Madjid, Willian Craig, seorang tokoh ahli Filsafat Modern dari Berkeley, California, Ilmu pengetahuan mutahir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar
dalam Astronomi Modern sangat menujang argumen-argumen Ilmu kalam yang di kembangkan oleh asy’ariyah.
Keadilan Manusia dan Perilaku Manusia
Diantara tema-tema sentral teologi Asy’ariyah, topic keadilan Tuhan (al ‘Adl)- dalam hal ini adalah standar nilai kebaikan dan keburukan- menempati deretan yang paling penting. Topik ini, disamping merupakan pembahasan yang cukup luas dan sangat berkaitan dengan segi-segi fundamental dalam bangunan ideologi Islam, juga sangat mempengaruhi corak perilaku umat penganutnya. Pada awal kemunculannya, konsep ini hanya merupakan respons terhadap teologi Mu’tazilah yang ekstrem-rasionalistik. Dan pada perkembangan selanjutnya, konsep keadilan Asy’ariyah ini tidak dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh Jabariyah (Fatalisme).
Asy’ariyah mencoba menampilkan pemikirannya tentang keadilan dengan beranjak dari konsep kemutlakan iradah (keinginan) Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah menciptakan kebaikan (al khair) dan keburukan (al syarr) serta sekaligus ‘menghendaki’ keberadaan keduanya sebagai dualisme nilai yang diperpegangi manusia. Kemudian, dari sisi lain mereka menegaskan bahwa kebaikan dan keburukan itu merupakan sesuatu yang relatif- dalam artian, tidak ada sesuatu yang pada hakikatnya  baik dan buruk- dan selanjutnya mengembalikan kedua nilai tersebut kepada kemutlakan syara’ sebagai standar utama. Segala yang diakui dan dilegitimasi oleh syara’ sebagai kebaikan, maka hal itu pastilah baik. Dan demikian pula sebaliknya, bahwa keburukan hanyalah yang diakui oleh syara’ sebagai keburukan. Namun kalau demikian halnya, bagaimana mungkin Asy’ariyah mengakui adanya nilai baik dan buruk dari satu sisi dan mengingkari keberadaannya dari sisi lain?  Sesungguhnya, argumentasi Asy’ariyah yang demikian itu hanya ditujukan untuk menolak pendapat Mu’tazilah (ahl al ‘adl) yang menempatkan akal sebagai satu-satunya standar nilai baik dan buruk. Dengan sangat responsif, mereka menegaskan bahwa syara lah satu-satunya sumber nilai yang berwenang menentukan segalanya, dan dengan
sendirinya menafikan fungsi akal dalam menilai suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum syara’ diturunkan, akal manusia tidak mampu mengetahui bahwa
kejujuran adalah baik dan bohong itu adalah buruk.
Bahwa seandainya Tuhan memerintahkan manusia untuk berbohong atau setidaknya melegitimasi kebohongan tersebut, maka tentunya hukum pun akan berubah, sesuatu yang awalnya buruk berubah nilai menjadi baik. Atau seandainya Tuhan melarang manusia untuk berlaku jujur maka kejujuran akan berubah menjadi perbuatan tercela.
Untuk membuktian kebenaran pendapatnya, Asy’ariyah beralasan bahwa akal manusia sangat relatif dalam menilai sesuatu dan sangat dipengaruhi oleh unsur subyektivitas serta kepentingan pribadi. Maka tanpa keterlibatan otoritas syara’, nilai kebaikan dan keburukan akan sangat relatif. Secara global Asy’ariyah mengakui relativitas akal manusia pada perbedaan- perbedaan yang ada dalam berbagai adat dan aturan konvensional antar komunitas tertentu. Di samping itu, kenisbian nilai moral merupakan dasar utama adanya perbedaan yang menyolok dalam berbagai ajaran agama. 

Sistem khilafah di Indonesia

Sistem khilafah 
Sistem Khilafah Islam adalah sistem yang tiranik. Ada dua alasan utama yang digunakan sebagai dasar kritikan atau lebih tepatnya tuduhan itu, yakni Pertama sistem ini dikatakan menganut prinsip  kedaulatan di tangan Tuhan, dan Kedua, dalam sistem ini tidak ada trias politika (pembagian kekuasaan). Dalam kritik itu tampaknya telah menggunakan argumentasi-argumentasi  yang sering digunakan untuk menolak  system teokrasi yang pernah berkembang di Barat di abad kegelapan. Sistem teokrasi yang pernah diterapkan di Eropa pada masa kegelapan memang ianggap sebagai sistem tiranik yang terbukti telah membawa bencana bagi anusia. Para kritikus yang sekaligus pemikir pada saat itu melihat bahwa angkal persoalannya  terletak pada   sistem teokrasi yang menyerahkan kedaulatan di tangan Tuhan. Bila raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi, maka  kata-kata, keputusan, kebijakan, dan aturan yang ditetapkan oleh Raja adalah otomatis merupakan kata-kata Tuhan. Karena kata-kata Tuhan, maka keputusan raja tidak pernah (boleh) keliru. Dari sini muncul slogan yang populer pada saat itu "The king can do no wrong", Raja tidak pernah keliru. Hal ini tentu saja menutup pintu kritik, karena raja selalu menganggap dirinya atau dianggap selalu benar. Ketiadaan kritik inilah yang kemudian membuat raja berpeluang besar menjadi tirani, karena apa pun keputusan  yang dia ambil akan selalu dianggap benar dan karenanya wajib dituruti.Persoalan kedua yang dianggap sebagai pangkal bencana dari sistem ini adalah ketiadaan pembagian kekuasaan (sharing  of power). Pada diri raja terdapat tiga kekuasaan sekaligus, yakni kekuasan membuat hokum (legislatif), kekuasaan menjalankan hukum atau pemerintahan (eksekutif) dan sekaligus fungsi pengadilan (yudikatif). Kekuasaan absolut yang dimiliki oleh raja karena memegang tiga kekuasaan sekaligus inilah  kemudian mendorong  dirinya menjadi diktator tunggal yang tiranik. Sistem Khilafah tentu saja sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syekh Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nidhamul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi. Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membedakan antara kedaulatan (al-siayadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan  (al-siyadah) memang ditangan syaari' (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan  berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Dalam Islam yang menjadi sumber hukum  adalah  Allah SWT yang telah menurunkan Al Qur'an dan as Sunnah guna mengatur kehidupan manusia.Adanya  kewajiban untuk mengkoreksi penguasa  (khalifah) ini jelas menunjukkan pengakuan tentang adanya peluang khalifah  untuk berbuat salah sekaligus menunjukkan kata-kata khalifah  tidaklah otomatis benar. Sehingga anggapan khalifah  tidak boleh dikritik adalah keliru. Inilah hal mendasar yang membedakan sistem khilafah dengan sistem teokrasi, dimana kata-kata raja dianggap otomatis kata-kata Tuhan.

Senin, 23 Januari 2012

Bersatu Dengan Tuhan


Bersatu Dengan Tuhan
Tujuan filsafat Plotanius adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan. Caranya ialah pertama-tama dengan mengenal alam dengan melalui alat indra, dengan ini kita mengenal keagungan Tuhan, kemudian kita menuju jiwa dunia, setelah itu menuju jiwa ilahi. Jadi perenungan itu dimulai dari perenungan tentang alam menuju jiwa ilahi, obyeknya dari yang jamak kemudian kepada yang satu. Dalam perenungan terakhir itu terjadi keintiman, tidak terpisah lagi antara merenung  dengan yang direnungkan (Mayer :332)
Yang hendak dicapai ialah prinsip realitas, itu ada dalam yang satu. Kita dapat mengenal itu dengan kemampuan yang ada pada kita, itu merupakan kebijaksanaan yang ada pada kita dari Dia. Di dalam kita ada sesuatu seperti Dia. Dimanapun engkau berada engkau berhadapan dengan ke-Ada-an Nya. Engkau merasakan Dia ada di dalam engkau (Mayer: 332). Dengan cara ini jiwa akan  sampa pada prinsip relitas, demikian Plotanius. Pada tingkat terakhir ini tidak ada lagi keterpisahan, tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi kesadaran tentang ruang dan waktu, todak ada lagi kesadaran tentang kejamakan, keadaan itu mengatasi semua kategori. Itu suatu keadaan tang jarang terjadi bahkan Plotanius pun hanaya mengalami beberapa kali. Caranya mudah saja, mensucikan roh. Benda disekitar kita diabaikan sama sekali. Juwa semata hidup di alam pikiran dan alam roh. Hanya dengan itu cara bersatu dengan Tuhan. Itu hanya dapat dilakukan dengan cara mengembangkan perasaan, keluar dari diri sendiri, inilah yang dimaksud dengan extace (Hatta:34-5). Filsafat tidak dapat menjelaskan hal itu. Sebaiknya kita menerimanya dengan diam dan merealisasikannya dalam kehidupan. Pengalaman mistik itu berada di dalam akal.