Jumat, 24 Februari 2012

Sistem khilafah di Indonesia

Sistem khilafah 
Sistem Khilafah Islam adalah sistem yang tiranik. Ada dua alasan utama yang digunakan sebagai dasar kritikan atau lebih tepatnya tuduhan itu, yakni Pertama sistem ini dikatakan menganut prinsip  kedaulatan di tangan Tuhan, dan Kedua, dalam sistem ini tidak ada trias politika (pembagian kekuasaan). Dalam kritik itu tampaknya telah menggunakan argumentasi-argumentasi  yang sering digunakan untuk menolak  system teokrasi yang pernah berkembang di Barat di abad kegelapan. Sistem teokrasi yang pernah diterapkan di Eropa pada masa kegelapan memang ianggap sebagai sistem tiranik yang terbukti telah membawa bencana bagi anusia. Para kritikus yang sekaligus pemikir pada saat itu melihat bahwa angkal persoalannya  terletak pada   sistem teokrasi yang menyerahkan kedaulatan di tangan Tuhan. Bila raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi, maka  kata-kata, keputusan, kebijakan, dan aturan yang ditetapkan oleh Raja adalah otomatis merupakan kata-kata Tuhan. Karena kata-kata Tuhan, maka keputusan raja tidak pernah (boleh) keliru. Dari sini muncul slogan yang populer pada saat itu "The king can do no wrong", Raja tidak pernah keliru. Hal ini tentu saja menutup pintu kritik, karena raja selalu menganggap dirinya atau dianggap selalu benar. Ketiadaan kritik inilah yang kemudian membuat raja berpeluang besar menjadi tirani, karena apa pun keputusan  yang dia ambil akan selalu dianggap benar dan karenanya wajib dituruti.Persoalan kedua yang dianggap sebagai pangkal bencana dari sistem ini adalah ketiadaan pembagian kekuasaan (sharing  of power). Pada diri raja terdapat tiga kekuasaan sekaligus, yakni kekuasan membuat hokum (legislatif), kekuasaan menjalankan hukum atau pemerintahan (eksekutif) dan sekaligus fungsi pengadilan (yudikatif). Kekuasaan absolut yang dimiliki oleh raja karena memegang tiga kekuasaan sekaligus inilah  kemudian mendorong  dirinya menjadi diktator tunggal yang tiranik. Sistem Khilafah tentu saja sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syekh Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nidhamul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi. Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membedakan antara kedaulatan (al-siayadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan  (al-siyadah) memang ditangan syaari' (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan  berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Dalam Islam yang menjadi sumber hukum  adalah  Allah SWT yang telah menurunkan Al Qur'an dan as Sunnah guna mengatur kehidupan manusia.Adanya  kewajiban untuk mengkoreksi penguasa  (khalifah) ini jelas menunjukkan pengakuan tentang adanya peluang khalifah  untuk berbuat salah sekaligus menunjukkan kata-kata khalifah  tidaklah otomatis benar. Sehingga anggapan khalifah  tidak boleh dikritik adalah keliru. Inilah hal mendasar yang membedakan sistem khilafah dengan sistem teokrasi, dimana kata-kata raja dianggap otomatis kata-kata Tuhan.

1 komentar

revolution network 10 Maret 2012 pukul 17.17

jika bukan khilafah, maka sistem apa yang anda usulkan

Posting Komentar